Senin, 06 Oktober 2014
Sabtu, 13 September 2014
PARTAI POLITIK BERTANGGUNG JAWAB!
Salah
satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin
sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan. Mengingat peran sentral kepala daerah
pada era reformasi tersebut maka menjadi konsekuensi logis apabila cara atau
sistem pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu strategis yang mendapat
perhatian serius. Seperti saat ini,
masyarakat Indonesia sedang ramai membahas Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada).
Apabila kita
melihat kebelakang, sejumlah dokumen menegaskan bahwa kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD seringkali
memiliki masalah dalam kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarak yang antara
kepala daerah dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Terhitung sejak mulai bulan Juni 2005 di 226
daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, untuk pertama kali diadakan
Pilkada secara langsung.
Kini, dengan
alasan berbeda Pemerintah tengah mengajukan RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan kembali
dipilih oleh DPRD. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi
mengatakan Pilkada langsung banyak menimbulkan kerugian materi dan sosial.
Misalnya, banyak kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Menurut Gamawan Fauzi, sekarang 323 kepala
daerah yang dipilih langsung terlibat persoalan hukum.
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai alasan
beberapa fraksi di DPR mengubah Undang-Undang
Pilkada tidak logis. Menurut
Refly Harun, ada empat
hal yang biasanya dijadikan alasan,
yaitu biaya terlalu besar; konflik horizontal antar pendukung; money politics (politik uang); dan
politisasi birokrasi. Tak lain dan tak bukan, sejumlah fraksi partai politik
pendukung pengesahan RUU Pilkada dipilih DPRD adalah partai politik yang
tergabung dalam koalisi merah putih.
Peranan dan Fungsi Partai
Partai politik
mempunyai posisi (status) dan peranan
(role) yang sangat penting dalam
setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Seperti dikatakan oleh Schattscheider
(1942), Political parties created
democracy. Oleh karena itu, sistem kepartaian yang
baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang
luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu
sesuai prinsip checks and balances
berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan
mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara.
Sayangnya,
peranan yang mulia itu hanya menimbulkan pandangan kritis dan skeptis dari
masyarakat terhadap keberadaan partai politik. Menjadi rahasia umum bahwa partai politik itu sebenarnya
tidak lebih dari pada kendaraan politik
bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahi kekuasaannya sendiri. Partai politik
hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung
yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan
berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu.
Maka partai
politik sebenarnya bertanggung
jawab atas masalah-masalah yang ditimbulkan selama Pilkada secara
langsung. Partai politik tidak menjalankan peranan dan fungsinya secara
optimal. Fungsi pertama partai politik yang amat penting yang tidak berjalan maksimal
adalah rekrutmen politik.
Partai politik berfungsi
melakukan seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Namun,
dalam prosesnya partai politik terkadang memilih cara instan untuk mengisi
jabatan tersebut sehingga menimbulkan masalah dikemudian hari. Baik itu dengan
cara menarik tokoh dari kalangan selebritas ataupun pihak yang berani membayar
mahar politik lebih besar agar dapat diusung partai.
Macet
atau tidak berjalannya fungsi partai politik telah menyebabkan budaya politik
transaksional yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Satu-satunya fungsi partai politik yang
berjalan hanyalah rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan publik seperti
menteri yang menyediakan kemewahan kekuasaan, disinilah politik transaksional
terjadi. Politik uang yang
disebutkan menjadi masalah dari Pilkada secara langsung, secara jelas terjadi
dimulai dari awal proses penjaringan bakal calon di partai politik.
Hal tersebut
menjadi efek berantai dalam proses politik di negara kita. Bagaimana tidak masyarakat
menjadi skeptis melihat elite-elite partai yang bermasalah. Kedua, partai
politik tidak melakukan fungsi pendidikan politik. Partai politik diharapkan menjadi media pembelajaran berdemokrasi
bagi rakyat yang diharapkan dapat
membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih
pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
Sebaliknya yang
terjadi adalah partai politik hanya mampu menggunakan senjata terakhirnya untuk
memobilisasi masa dengan kekuatan uang. Ketiga, menanggapi adanya konflik
horizontal berkaitan dengan fungsi pengendalian konflik. Sebaiknya partai politik dapat mengendalikan konflik melalui dialog dengan
pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirassi
(cita-cita) dan kepentingan. Selama
ini partai politik terkesan membiarkan konflik horizontal yang terjadi, baik
selama proses pemilihan maupun pasca pemilihan.
Mengingat
lembaga ini adalah pilar penting demokrasi, partai politik perlu kembali menjalankan dan mengoptimalkan fungsi-fungsi
lainnya. Kelembagaan partai
politik harus diperkuat jika dampak
negatif yang ditimbulkan dalam sistem politik selama ini ingin
dihilangkan. Melalui
penguatan kelembagaan partai, diharapkan
di masa depan akan lahir pemimpin-pemimpin negara yang tangguh, dan bahkan
mampu menjalankan prinsip kepemimpinan profetik (bersifat kenabian). ●
Langganan:
Postingan (Atom)