Indonesia memiliki berbagai macam
problematika, carut marutnya negeri ini hampir setiap hari dapat kita saksikan
di berbagai jenis media. Mulai dari masalah yang sederhana hingga kompleks,
yang terkadang membuat kita menghela nafas panjang dan mengerenyutkan dahi.
Tetapi ada saja seperti oase di
tengah gurun pasir negeri ini. Meski jumlah pemberitaan hal-hal positif ini
cenderung lebih sedikit. Saya berharap bisa menjaga optimisme masyarakat
terhadap negerinya sendiri. Bagaikan jamur di musim hujan, ada berbagai gerakan
swadaya masyarakat untuk mengatasi fenomena masyarakat yang biasanya kurang
mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Dimulai dari gerakan sebungkus
nasi, gerakan seribu sepatu, seribu bola, seribu guru, seribu pohon dan lain
sebagainya. Itu hanya sebuah nama kampanye kegiatan mereka, diluar pada itu
masih banyak lagi kegiatan sekelompok orang yang pada umumnya dipelopori oleh
para pemuda.
Banyak ditemui
komunitas-komunitas dan enterpreneur yang melakukan kegiatan mulai dari aksi
sosial hingga memberdayakan masyarakat produktif dan mandiri. Di luar latar
belakang dan motivasi berbagai gerakan tersebut, tentu kita sepakat bahwa hal
ini merupakan sesuatu yang baik yang patut kita apresiasi. Seperti kata pepatah
“jangan tanya apa yang telah negara berikan pada mu, namun apa yang telah kau
berikan pada negeri mu”. Dari pada kita berdiri di bagian kelompok masyarakat
yang acuh tak acuh dan mencaci maki terhadap Pemerintah.
Apabila kita menengok ke belakang
sejarah negeri kita, ini mengingatkan penulis pada gerakan pemuda Indonesia
yang masih bersifat kedaerahan, kesukuan dan keagamaan. Pada masa sebelum
kemerdekaan gerakan pemuda tersebut kita kenal dengan istilah “Jong”. Namun, perjuangan yang masih
bersifat kedaerahan tersebut menjadi salah satu penyebab kegagalan bangsa kita
menghalau penjajahan dari bangsa lain. Yang kemudian melatarbelakangi gerakan
Sumpah Pemuda yang bertujuan mempersatukan organisasi kepemudaan yang sudah ada
di daerah-daerah. Kini, fenomena hampir serupa terjadi kembali, ada
gerakan-gerakan positif yang dipelopori oleh sekelompok pemuda di sejumlah
daerah. Bukan penjajah dari bangsa lain lagi yang mereka perangi, tapi mereka
memerangi ketertinggalan, kesejahteraan dan kesenjangan sosial.
Namun, melihat fenomena tersebut,
penulis merasa khawatir ini menjadi bom waktu pecahnya bangsa Indonesia. Ketidakmaksimalan
Pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat, justru bukan menjadi faktor
lahirnya gerakan semacam “Sumpah Pemuda”. Namun, antitesa dari semangat
persatuan dan kesatuan Indonesia yaitu gerakan politis maupun separatis untuk
memisahkan diri dari NKRI. Seperti kasus kebakaran lahan di Riau, ada saja
suara-suara sumbang dari tokoh setempat yang mengatakan apabila Pemerintah
tidak mampu mengatasi kebakaran lahan yang terjadi setiap tahunnya ini, lebih
baik Riau memisahkan diri dari NKRI. Belum lagi, di Indonesia bagian timur yang
susah payah terus diredam oleh Pemerintah terkait isu-isu melepaskan dari NKRI
ini.
Maka penulis berharap ada pemimpin yang
visioner menangkap fenomena ini dan menarik benang merah menjadi sebuah gerakan
visioner demi Indonesia yang lebih baik. Sebelum ada gerakan politik yang
justru menangkap ketidakmampuan pemerintah mensejahterakan masyarakatnya menjadi
alasan politik untuk memisahkan diri dari Indonesia. Terakhir, semoga gerakan-gerakan sosial ini tidak
menjadi komoditas politik dan berharap kedepan ada dukungan serta kerja sama
dari pemerintah ●