Sabtu, 13 September 2014

PARTAI POLITIK BERTANGGUNG JAWAB!

Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan. Mengingat peran sentral kepala daerah pada era reformasi tersebut maka menjadi konsekuensi logis apabila cara atau sistem pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu strategis yang mendapat perhatian serius. Seperti saat ini, masyarakat Indonesia sedang ramai membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Apabila kita melihat kebelakang, sejumlah dokumen menegaskan bahwa kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD seringkali memiliki masalah dalam kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarak yang antara kepala daerah dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Terhitung sejak mulai bulan Juni 2005 di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, untuk pertama kali diadakan Pilkada secara langsung.

Kini, dengan alasan berbeda Pemerintah tengah mengajukan RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan kembali dipilih oleh DPRD. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan Pilkada langsung banyak menimbulkan kerugian materi dan sosial. Misalnya, banyak kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Menurut Gamawan Fauzi, sekarang 323 kepala daerah yang dipilih langsung terlibat persoalan hukum.

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai alasan beberapa fraksi di DPR mengubah Undang-Undang Pilkada tidak logis. Menurut Refly Harun, ada empat hal yang biasanya dijadikan alasan, yaitu biaya terlalu besar; konflik horizontal antar pendukung; money politics (politik uang); dan politisasi birokrasi. Tak lain dan tak bukan, sejumlah fraksi partai politik pendukung pengesahan RUU Pilkada dipilih DPRD adalah partai politik yang tergabung dalam koalisi merah putih.

Peranan dan Fungsi Partai

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), Political parties created democracy. Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara.

Sayangnya, peranan yang mulia itu hanya menimbulkan pandangan kritis dan skeptis dari masyarakat terhadap keberadaan partai politik. Menjadi rahasia umum bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari pada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahi kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu.

Maka partai politik sebenarnya bertanggung jawab atas masalah-masalah yang ditimbulkan selama Pilkada secara langsung. Partai politik tidak menjalankan peranan dan fungsinya secara optimal. Fungsi pertama partai politik yang amat penting yang tidak berjalan maksimal adalah rekrutmen politik.

Partai politik berfungsi melakukan seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Namun, dalam prosesnya partai politik terkadang memilih cara instan untuk mengisi jabatan tersebut sehingga menimbulkan masalah dikemudian hari. Baik itu dengan cara menarik tokoh dari kalangan selebritas ataupun pihak yang berani membayar mahar politik lebih besar agar dapat diusung partai.

Macet atau tidak berjalannya fungsi partai politik telah menyebabkan budaya politik transaksional yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Satu-satunya fungsi partai politik yang berjalan hanyalah rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan publik seperti menteri yang menyediakan kemewahan kekuasaan, disinilah politik transaksional terjadi. Politik uang yang disebutkan menjadi masalah dari Pilkada secara langsung, secara jelas terjadi dimulai dari awal proses penjaringan bakal calon di partai politik.

Hal tersebut menjadi efek berantai dalam proses politik di negara kita. Bagaimana tidak masyarakat menjadi skeptis melihat elite-elite partai yang bermasalah. Kedua, partai politik tidak melakukan fungsi pendidikan politik. Partai politik diharapkan menjadi media pembelajaran berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

Sebaliknya yang terjadi adalah partai politik hanya mampu menggunakan senjata terakhirnya untuk memobilisasi masa dengan kekuatan uang. Ketiga, menanggapi adanya konflik horizontal berkaitan dengan fungsi pengendalian konflik. Sebaiknya partai politik dapat mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirassi (cita-cita) dan kepentingan. Selama ini partai politik terkesan membiarkan konflik horizontal yang terjadi, baik selama proses pemilihan maupun pasca pemilihan.

Mengingat lembaga ini adalah pilar penting demokrasi, partai politik perlu kembali menjalankan dan mengoptimalkan fungsi-fungsi lainnya. Kelembagaan partai politik harus diperkuat jika dampak negatif yang ditimbulkan dalam sistem politik selama ini ingin dihilangkan. Melalui penguatan kelembagaan partai, diharapkan di masa depan akan lahir pemimpin-pemimpin negara yang tangguh, dan bahkan mampu menjalankan prinsip kepemimpinan profetik (bersifat kenabian).