Minggu, 11 Oktober 2015

Kenapa Saya Harus Berhenti Menulis? (Part 1)

  



Menulis adalah terapi, menulis adalah meditasi, menulis adalah curhat. Menulis adalah belajar, menulis adalah membaca, menulis adalah ... tak ada habisnya. Kesimpulannya; semakin menulis, hidup semakin manis.

Demikian kutipan kalimat dalam sebuah artikel (rosediana.net), banyak artikel lainnya yang menjelaskan hubungan antara menulis dan kebutuhan sebagai terapi. Diantaranya menurut Elizabeth Sullivan:

  • “salah satu bagian paling kuat dari sebuah terapi, yaitu kemampuan untuk mengobservasi pemikiran dan perasaan kita...”
  • “menulis itu memang sebuah gerakan yang kecil dan sederhana itu akan berubah sangat kuat manakala kita menuliskan tentang apapun yang ada dalam pikiran ...”
  • “menulis itu membantu kita untuk mengarahkan pikrian dan perasaan yang berantakan ke dalam track yang benar. Jalan inilah yang akan membawa kita pada kunci pengetahuan. Menulis juga menciptakan hubungan antara pikiran,  tubuh dan semangat ...”

Menulis ekspresif memberikan efek positif secara psikologis dan dalam jangka panjang akan jarang menemui persoalan kesehatan. Anda bisa mencoba menulis bebas dan kemudian merasakan manfaatnya. Tulislah secara lepas, biarkan pikiran dan perasaan anda mengalir, jangan mengeditnya, jangan pedulikan tata bahasa, jangan hiraukan salah ketik, jangan pedulikan soal gaya-hanya menulis! Anda akan dapatkan tulisan ekspresif yang paling orisinal, yang mencerminkan pikiran dan perasaan anda. Lakukan setiap hari walau hanya 15 menit. (Indonesia.tempo.co)

Ada beberapa gambaran kenapa kita harus menulis dan quote yang menginspirasi saya, sebagai berikut:

  1. BJ Habibie sempat mengidap psikosomatis karena duka yang mendalam akibat kehilangan istri yang dicintainya. Dokter psikiater pun menyarankannya untuk menulis sebagai terapi bila tidak dia akan dimasukan RSJ. Hingga akhirnya lahir sebuah buku “Habibie dan Ainun”
  2. Banyak manusia-manusia galau dan norak di dunia medsos yang pada akhirnya meraih kesuksesan setidaknya dapat mengisi dompet mereka. Seperti Raditya Dika dan Zarry Hendrik, banyak lagi fenomena-fenomen yang pada akhirnya bisa menjadi sebuah karya buku dari kumpulan tweetnya tsb atau dalam bentuk lainnya. Raditya Dika yang sering di bully menuliskan kisah-kisah konyolnya hingga memasuki era medsos kisah-kisahnya bisa dilihat orang lain. Zarry Hendrik mengakui dirinya seseorang yang minder dan pemalu, dengan kata-katanya di medsos perlahan-lahan dia membangun rasa percaya diri karena kata-katanya banyak disukai orang. Saya pribadi sih tidak berharap menjadi terkenal, tapi keinginan untuk menulis buku sih ada, karena apa ...
  3. Karena, bukan seberapa banyak readers yang mengapresiasi karya mu, tapi seberapa banyak readers yang terinspirasi oleh karya mu (Susan Arisanti)
  4. MENULIS BAGIAN DARI PERADABAN. Indonesia merdeka setelah mengenal budaya membaca dan menulis. Pernah terpikir oleh otak kita, sedandainya para ilmuwan, para pemikir dan orang-orang terdahulu tidak pernah menulis tentang apa yang mereka alami, saksikan, dan temukan pada zamannya?
  5. Tidak ada etika untuk menulis apapun, tidak ada biaya untuk menulis apapun, maka tidak ada penghalang untuk menulis apapun. “jangan salahkan anak cucu kita, jika mereka lebih mengenal Tan Malaka, Pramudya Ananta, Soe Hok Gie atau Khairil Anwar dan tidak mengenal kita sebagai leluhurnya (Maruntung Sihombing – Menulis untuk keabadian). YANG DIUCAPKAN BERLALU DENGAN ANGIN, YANG DITULISKAN AKAN ABADI.
  6. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pramoedya Ananta Toer)
  7. You’re what You read. Menulis sudah pasti membaca, sementara orang yang membaca belum tentu menulis. (lo cuman mau jadi penonton kisah hidup orang lain di time line apa mau menulis sejarah hidup lo sendiri?)
  8. Menulislah kamu sebelum dituliskan pada batu nisan (Ihsan Muslim)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar